PT Nafasindo Gelar Rapat Tertutup Bahas Kompensasi Limbah, Masyarakat Tak Dilibatkan

TIME INDONESIA

- Redaksi

Sabtu, 18 Oktober 2025 - 01:37 WIB

5047 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Aceh Singkil – Langkah manajemen PT Nafasindo yang menggelar rapat tertutup bersama Camat Kota Baharu, Kapolsek, serta empat kepala desa pada Kamis (16/10/2025), menuai sorotan tajam. Rapat yang disebut membahas tindak lanjut kompensasi kepada masyarakat terdampak pencemaran limbah, dilangsungkan secara tertutup di Kantor PT Nafasindo dan terkesan membatasi akses publik. Sebuah keputusan yang memantik kecurigaan.

Padahal berdasarkan hasil musyawarah di Oproom Kantor Bupati Aceh Singkil beberapa waktu lalu, pihak perusahaan telah menyatakan kesanggupannya untuk menyalurkan kompensasi kepada warga dari empat desa terdampak: Desa Serikayu, Pea Jambu, Ladang Bisik, dan Muara Pea. Kesepakatan tersebut meliputi pelepasan 30.000 bibit ikan di Sungai Lae Gombar, serta pemberian dana senilai Rp600.000 per kepala keluarga sebagai kompensasi. Namun pembahasan kelanjutan terkait penyaluran kompensasi tersebut justru digelar tertutup, tanpa melibatkan masyarakat yang menjadi pihak utama terdampak.

Menurut pantauan sejumlah awak media di lapangan, sebelum rapat tertutup dimulai, pihak manajemen tampak memanggil satu per satu peserta ke dalam ruangan, tanpa membuka ruang keterlibatan bagi publik atau perwakilan masyarakat. Pihak media yang ingin meliput langsung ditolak aksesnya oleh petugas keamanan perusahaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Perwakilan PT Nafasindo, Kiki, yang dikonfirmasi oleh media menyatakan bahwa rapat tersebut hanya diperuntukkan bagi pihak-pihak tertentu yang dianggap strategis dalam proses musyawarah. Kiki juga membenarkan bahwa bibit ikan telah ditebar sebanyak 30 ribu ekor di Sungai Lae Gombar dan kompensasi telah disalurkan kepada warga sesuai hasil kesepakatan awal. Namun, ketika diminta tanggapan mengenai bukti dokumentasi penebaran ikan yang diklaim media dalam bentuk video dan rekaman suara, Kiki menyatakan bahwa bukti tersebut tidak sah jika hanya berupa hasil percakapan via telepon.

Pernyataan itu memicu keberatan dari kalangan wartawan. Mereka menilai sikap perwakilan perusahaan sebagai bentuk pengingkaran terhadap prinsip transparansi dan keterbukaan informasi publik, apalagi disampaikan kepada jurnalis yang menjalankan tugasnya meliput isu yang berkaitan langsung dengan masyarakat. Beberapa media menyebutkan bahwa tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai hambatan terhadap kebebasan pers, seperti yang dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta Pasal 28 dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.

Kekecewaan tak hanya datang dari kalangan media. Salah seorang warga yang berada di luar lokasi rapat, menyebut bahwa masyarakat merasa diabaikan dan tidak dilibatkan, meskipun merekalah pihak yang paling terdampak oleh pencemaran limbah perusahaan. “Kami berada di halaman, tapi pintu tertutup rapat. Kami tidak tahu apa yang sedang didiskusikan di dalam. Seharusnya kompensasi untuk kami, kenapa hanya pemerintah desa yang diajak bicara?” ujar warga yang enggan disebutkan namanya.

Isu lain yang menambah keraguan publik adalah informasi yang diperoleh media dari salah satu narasumber penyedia bibit ikan. Ia menyebut bahwa jumlah ikan yang sebenarnya dibeli perusahaan hanya 20 ribu ekor, terdiri dari 15 ribu ikan patin dan 500 ikan nila. Jika informasi ini benar, maka PT Nafasindo diduga tidak menepati jumlah yang telah disepakati bersama, dan ini berpotensi menjadi pelanggaran terhadap kesepakatan resmi dengan pemerintah daerah.

Menyikapi berbagai keganjilan yang terungkap dalam peristiwa ini, ketua DPD LSM Gakorpan (Gerakan Anti Korupsi dan Penyelamatan Aset Negara) Kabupaten Aceh Singkil, Pardomuan Tumangger, mendesak aparatur penegak hukum (APH) untuk segera turun tangan. Ia menilai ada potensi ketimpangan prosedur dan dugaan pelanggaran atas kesepakatan yang telah dibuat secara terbuka di forum resmi.

“Kami meminta Aparat Penegak Hukum agar segera mengambil langkah tegas. Jangan sampai proses kompensasi ini sarat kepentingan dan menjauhkan masyarakat dari hak-hak mereka. Jika perlu, semua pihak yang terlibat dalam rapat tertutup tersebut dipanggil untuk dimintai keterangan,” tegas Pardomuan.

Hingga berita ini diturunkan, beberapa kepala desa yang hadir dalam pertemuan tersebut belum bersedia memberikan komentar. Upaya konfirmasi yang dilakukan oleh para wartawan hanya dijawab dengan diam, memperkuat dugaan bahwa ada tekanan atau kendali tertentu yang membatasi ruang bicara mereka kepada publik.

Kasus ini menandai pentingnya transparansi dalam penyaluran kompensasi lingkungan, khususnya menyangkut keterlibatan masyarakat. Penanganan kasus serupa di masa depan diharapkan tidak hanya berorientasi pada formalitas birokratis semata, tetapi sungguh-sungguh menempatkan masyarakat sebagai bagian utama dalam pengambilan keputusan, sebagaimana prinsip tata kelola lingkungan yang akuntabel dan berpihak kepada rakyat.


Reporter: Tim Investigasi | Editor: Redaksi Daerah
Narasumber: Perwakilan PT Nafasindo, Masyarakat Terdampak, LSM Gakorpan

Berita Terbaru