SMPA Minta Bupati Aceh Besar Minta Maaf atas Ucapan yang Dinilai Tak Etis

TIME INDONESIA

- Redaksi

Minggu, 19 Oktober 2025 - 09:07 WIB

509 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

BANDA ACEH  — Solidaritas Mahasiswa Pemuda Aceh (SMPA) mengecam keras pernyataan Bupati Aceh Besar, Syech Muharram, yang dinilai mencerminkan sikap arogan dan pola pikir feodal dalam menjalankan pemerintahan. Ucapan bupati yang menyebut akan memindahkan tenaga kesehatan yang “nakal” ke Leupung dan Pulo Aceh, dinilai tidak beretika dan merendahkan martabat wilayah serta aparatur negara.

“Kapus atau laporkan ke saya kalau ada tenaga kesehatan yang nakal, akan saya pindahkan ke Leupung dan Pulo Aceh,” ujar Bupati Syech Muharram dalam sebuah kesempatan yang videonya beredar luas di media sosial, dan memicu reaksi dari berbagai kalangan.

Koordinator SMPA, Rizki Aulia Zulfareza, menyebut bahwa pernyataan tersebut bukan sekadar kekeliruan bahasa, tetapi menunjukkan rendahnya kesadaran etis seorang kepala daerah. Ia menilai ucapan itu sarat dengan nada ancaman dan tidak mencerminkan seorang pemimpin yang menjunjung nilai-nilai pelayanan publik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Ucapan seorang kepala daerah bukan sekadar kalimat, tetapi pantulan nilai-nilai kepemimpinan. Mutasi bukan hukuman. Menggunakannya sebagai ancaman adalah pelanggaran terhadap sistem merit dan mencederai semangat reformasi birokrasi,” kata Rizki dalam pernyataan resmi, Minggu (19/10/2025).

SMPA menilai bahwa pernyataan tersebut secara tidak langsung juga merendahkan masyarakat di kawasan Leupung dan Pulo Aceh. Mengasosiasikan wilayah tersebut sebagai tempat “pembuangan” adalah bentuk diskriminasi wilayah dan bentuk kepemimpinan yang gagal memahami keadilan regional.

“Leupung dan Pulo Aceh bukan tempat hukuman. Wilayah tersebut adalah bagian dari wajah Aceh yang perlu diperhatikan, bukan dijadikan simbol hukuman bagi pegawai yang bermasalah. Ini bentuk ketidakpekaan sosial sekaligus degradasi moral birokrasi,” ujar Rizki.

Dari perspektif akademik dan etika publik, lanjut Rizki, gaya komunikasi seperti ini mencerminkan ketidakmatangan politik. “Bahasa pejabat adalah cermin legitimasi. Jika nada ancaman diprioritaskan, maka yang runtuh lebih dulu adalah wibawa moralnya sendiri,” tambahnya.

Dalam sikap resminya, SMPA menyampaikan empat tuntutan: mengecam ucapan Bupati Aceh Besar serta menilai pernyataan tersebut diskriminatif dan merendahkan; mendesak permintaan maaf terbuka dari Bupati kepada masyarakat dan ASN; mendorong DPRK Aceh Besar untuk memanggil dan meminta klarifikasi dari Bupati; serta menyerukan kepada seluruh pejabat publik Aceh agar berhenti memperlakukan rakyat dan aparatur sebagai objek kekuasaan.

SMPA menegaskan bahwa gaya kepemimpinan yang bersandar pada ancaman dan kuasa tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Menurut Rizki, budaya birokrasi modern harus dibangun di atas kinerja, tanggung jawab, dan keteladanan, bukan ketakutan.

“Jika pola pikir feodal terus dipertahankan, maka yang terancam bukan hanya reformasi birokrasi, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap negara,” pungkas Rizki.

Ia juga mengajak mahasiswa, pemuda, dan masyarakat Aceh untuk terus mengawal sikap dan perilaku pejabat publik demi terwujudnya pemerintahan yang adil dan beradab.

“Kritik bukanlah kebencian. Ini adalah bentuk cinta terhadap Aceh agar tidak terjebak dalam pola kepemimpinan lama yang tidak berpihak pada rakyat,” tutupnya. (*)

Berita Terkait

Dari Ruang Bea Cukai Aceh, Mahasiswa UNSYIAH Menyelami Dinamika Perdagangan Internasional
SEUDATI Bea Cukai Banda Aceh, Ruang Dialog untuk Kepatuhan dan Kesejahteraan Masyarakat

Berita Terbaru